Jumat, 26 Agustus 2011

[fanfic] A Rose for You


Title : A rose for you
Type : Oneshoot
Author : Anisu-chan
Genre : Romance & Angst (lagi-lagi)
Casting : Kato Shigeaki X Yamada Chiisa, OC dan cameo lainnya :p
Rating : PG 15
Disclaimer : I just own this plot and OC

Sudah pukul 5 sore, tapi Kato Shigeaki masih saja di sibukkan oleh pekerjaannya sebagai photografer. Sebenarnya ia ingin menyudahi pekerjaan ini sekarang juga dan segera beranjak pergi menuju apartemennya. Tapi, bosnya menuntutnya untuk menyelesaikan semuanya sekarang juga. Mau tidak mau ia harus menyelesaikannya atau ia di pecat. Hidup itu memang kadang menyusahkan.

3 jam berlalu, pekerjaannya selesai dan kini waktunya ia pulang.

“Ne, Kato-kun bagaimana kalau kita karaoke dulu?” ajak rekan kerjanya yang bernama Riruka.

“Gomen, aku sangat lelah. Aku ingin pulang, lain kali saja ya.” tolak Shige dengan sopan.

Shige langsung berjalan tanpa mempedulikan rekan kerjanya yang memasang wajah kecewa.

****

Sesampainya di apartemen, Shige langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Ia menyalakan tv dan mencari-cari acara yang ingin ia tonton. Shige kembali beranjak, kini ia mengganti baju kerjanya dengan baju yang biasa ia pakai di rumah. Ia menggenggam telpon selulernya dan memencet nomor telepon kedai ramen langganannya.

“Moshi-moshi Koyama no Ramen desu.” suara di seberang sana mengaung dari telpon seluler Shige.

“Ah, aku pesan ramen spicy. Antarkan di apartemen yang ada di depan kedai itu ya, nomor kamarnya 212.”

Shige kembali duduk di sofanya, ia memegang perutnya yang sudah kelaparan, “Andai aku punya istri, aku tidak akan pernah kelaparan seperti ini.” keluhnya.

Sudah 45 menit berlangsung, tapi ramen yang Shige pesan belum juga datang. Ia memencet nomor Koyama no Ramen. Kedai ramen tersebut mengatakan bahwa ramennya sudah di antar sejak tadi, tapi Shige tidak mendengar ada bel yang di bunyikan sedaritadi. Shige keluar dari apartemennya, daripada menunggu lama lebih baik ia pergi langsung ke kedainya, pikirnya.

Di tengah perjalanannya, Shige terkejut. Ia menemukan sesosok wanita yang sepertinya ia kenal, wanita itu pingsan di tangga darurat. Anehnya, tak ada satu orang pun yang sadar. Shige menghampiri sosok wanita itu.

“Chiisa..” tanpa pikir panjang Shige langsung menggendong wanita tersebut dan membawanya kembali ke apartemennya.

***

Matahari pagi masuk ke celah-celah jendela apartemen Shige dan cahayanya menusuk matanya. Perlahan-lahan Shige bangun. Shige berjalan ke kamarnya, “Kau masih belum bangun, Chiisa-chan?” ia menyentuh kening wanita yang dipanggil Chiisa dengan raut wajah yang sedih.

Telepon seluler Shige berbunyi, dari Koyama no Ramen. “Ano, Kato-san. Apakah karyawanku yang mengantar ramen ke apartemen anda sudah tiba semalam? Aku baru tau sekarang jika ia belum balik juga sampai sekarang.”

“Gomen, aku telat memberi taunya. Karyawan anda yang namanya Yamada Chiisa kan? Sekarang ia ada tertidur di apartemenku, aku menemukannya pingsan di tangga darurat kemarin. Tenang saja kau tak perlu khawatir, aku kenal dengannya. Ia teman SMA ku.”

Shige menutup keitainya, kembali melihat Chiisa. Ia duduk di samping Chiisa dan menunggunya sampai gadis tersebut bangun, kebetulan hari ini gilirannya libur.

Chiisa terbangun perlahan-lahan, ia bingung dimana ia sekarang. Seingatnya, kemarin ia harus mengantar ramen ke kamar 212 lewat tangga darurat karena liftnya sedang di perbaiki, lalu tiba-tiba perutnya sangat sakit dan ia pingsan sepertinya. Chiisa bangkit dari tidurnya, ia berjalan tertatih-tatih karena perutnya masih belum hilang dari rasa sakit meskipun hanya sedikit berkurang.

“Chiisa-chan, kau sudah bangun? Wakatta.” Shige yang baru keluar dari kamar mandi senang sekali melihat Chiisa, wajahnya cerah kembali.

“Shige? Kenapa aku bisa disini?” tanyanya dengan suara yang amat lemah.

“Kau pingsan di tangga darurat dan aku menemukanmu, entahlah apa jadinya jika aku tidak segera keluar apartemen.”  jelas Shige.

“Arigatou.” Chiisa tersenyum dengan manis.

“Ah, Chiisa-chan senyummu masih seperti dulu ya?”

“Nande?”

“Senyummu masih semanis dulu.”

Tiba-tiba tubuh Chiisa terjatuh, ia pingsan lagi. Wajah Shige yang tadinya cerah, kembali suram saat melihat Chiisa pingsan lagi.

Tanpa pikir panjang, Shige langsung membawa Chiisa ke rumah sakit. Firasatnya sudah tidak enak.

***

Dokter yang memeriksa Chiisa keluar dan menghampiri Shige yang sedang duduk khawatir.

“Anda keluarganya? Ada yang perlu saya bicarakan.”

Shige langsung mengiyakan dokter tersebut dan mengikutinya dari belakang menuju ruangan dokter tersebut.

“Yamada Chiisa, menurut diagnosa saya ia terserang kanker lambung, tapi itu masih belum pasti karena belum ada pemeriksaan lebih lanjut.”

Tubuh Shige membeku seketika.

“Saya sudah periksa tadi dan lambungnya memang bermasalah, saat penderita lambung sudah mengalami rasa sakit sampai pingsan itu sudah memasuki tahap kanker lambung.”

“Apakah kanker yang ini bisa di sembuhkan?” tanya Shige ketakutan.

“Sampai sekarang obatnya belum di temukan, tapi ada obat untuk menahan rasa sakit. Tapi, jika ini benar-benar kanker lambung, saya sarankan untuk segera di rawat di rumah sakit.”

***

Shige memandang Chiisa yang masih tertidur di kamar perawatan, wajahnya masih pucat. Shige pun tak habis pikir dengan cobaan yang ia alami saat ini. Saat ini, ia benar-benar tak ingin kehilangan Chiisa. Ia mencintainya, bagaimanapun Chiisa adalah cinta pertamanya.

Air mata Shige turun, ia menangis. Baru saja mereka bertemu lagi setelah 5 tahun berpisah, tapi saat mereka bertemu Chiisa sudah dalam kondisi seperti ini.

“Shige, kenapa menangis?” tanya Chiisa yang sudah bangun, suaranya terdengar sangat lemah.

“Aku menangis karena aku bahagia bisa bertemu denganmu. Ne, Chiisa-chan kau tau? Selama 5 tahun kita tak pernah bertemu aku selalu memikirkanmu.”

“Hontou? Aku jadi terharu sebagai temanmu.” Chiisa tertawa kecil.

“Chiisa, maukah kau menjadi istriku? Aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu ada disampingmu, Chiisa.” ucap Shige dengan tegas.

“Kenapa tiba-tiba seperti itu?” Chiisa terlihat bingung.

“Karena aku sudah mantap dengan perasaan ini, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada. Aku tidak ingin ada penyesalan.”

“Demo, aku tidak punya apa-apa. Kau tau kan ayah dan ibuku sudah meninggal? Aku juga tidak kuliah, berbeda seperti mu.” ujar Chiisa dengan sedih.

“Aku akan menerimamu apa adanya. Tidakkah kau sadar, 5 tahun yang lalu aku selalu ada disampingmu ketika kau sedih.”

“Shige, aku tau kau baik, tapi...”

Belum selesai Chiisa bicara, Shige memotongnya, “Aku akan menerimamu apa adanya, aku tidak peduli dengan kondisimu yang seperti ini dan juga yang lainnya. Aku akan setia juga padamu.”

Tangis Chiisa meledak, ia tak percaya akan ada laki-laki yang melamarnya sambil menangis seperti itu. Ia iba dengan Shige dan di hati kecilnya, sebenarnya ia mencintai Shige, karena sejak dulu hanya Shige lah yang bisa mengerti dan membuatnya tersenyum kembali.

Chiisa mengangguk dengan mantap, ia menyetujui permintaan Shige. Shige memeluknya, tangis bahagia mereka pecah dan menjadi satu.

***

Kini Shige dan Chiisa sudah resmi menikah. Mereka berdua tinggal di apartemen Shige, dan semenjak mereka menikah Shige tidak pernah kesepian dan juga kelaparan. Shige bahagia dengan ini, tapi di lain hal ia juga harus bisa menanggung resiko di tinggal istrinya selamanya.  Ia pun juga sudah tau pasti bahwa istrinya memang terkena kanker lambung, tapi ia tidak pernah berani menceritakannya karena takut istrinya tersebut kaget.

“Chiisa-chan, kau sudah minum obat hari ini?” kata Shige sambil memakai sepatunya.

“Sudah.” jawab Chiisa yang berdiri di belakang Shige.

“Kalau perutmu sakit, segera telepon aku ya. Dan ingat, jangan terlalu letih, jaga pola makan yang dokter berikan kemarin.”

“Hai, suamiku. Ayo berangkat kerja sekarang, nanti kau telat.”

“Aku pamit ya, jaa.” Shige mencium kening istrinya.

***

Pernikahan Shige dan Chiisa sudah berlangsung 2 bulan, dan sampai saat ini Chiisa belum menunjukkan tanda-tanda perutnya sakit. Shige pun merasa bahwa kanker yang di derita Chiisa perlahan-lahan sudah menghilang. Dan satu lagi kebahagian yang Shige alami, “Ne, Shige aku hamil.” kata Chiisa pada suaminya saat mereka makan bersama.

“Hontou? Kalau begitu kita harus menyiapkan kamar untuk penghuni baru keluarga kita.” kata Shige bersemangat.

“Baka! Perutku saja belum terlihat besar kau sudah mau membuatkan kamar.”

“Hahaha, aku hanya ingin membuat anak kita bahagia karena ia sudah mempunyai kamar sendiri jadi ia ingin cepat-cepat keluar dari rahimmu.”

“Baka!! Shige baka!!”

***

Hari ini Shige pulang lembur, entah mengapa firasatnya mengatakan sesuatu yang tidak enak. Ia buru-buru pulang, ia ingin segera melihat keadaan istrinya.

Keitainya berdering, istrinya menelponnya. Tak biasanya seperti ini, apakah perutnya kembali sakit seperti dulu lagi, Shige sungguh cemas.

“Moshi-moshi.”

“Kato-san, istri anda masuk rumah sakit. Ia keguguran.” kata suara seberang sana yang ia kenal bahwa suara ini adalah suara tetangga di depan kamar apartemennya.

***

“Heika-san,  arigatou gozaimashita telah mengantarkan dan menunggu istri saya. Bagaimana keadaannya?”

“Douita, ia belum pulih dari pingsannya.”

“Kejadian awal istri saya keguguran, bagaimana ceritanya?” tanya Shige penasaran dan cemas.

“Saya tidak tau persisnya, karena istri anda tadi keluar dari pintu apartemen sambil menangis dan berteriak meminta tolong. Karena saya penasaran dengan suara itu, saya keluar dan saya telah mendapati istri anda keguguran.”

“Wakatta.”

“Ne, Kato-san. Aku harus pulang sekarang.”

“Hai, arigatou Heika-san.”

Shige memasuki ruangan dokter yang merawat istrinya, “Sumimasen, dokter. Saya suami dari pasien kamar 108.”

“Ah iya, silakan duduk. Kebetulan ada yang ingin saya bicarakan.”

“Ada apa?” ekspresi cemas di wajah Shige semakin terlihat.

“Istri anda keguguran karena kandungannya sangat lemah, belum lagi istri anda suka mengkonsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak dan kankernya sudah mencapai dimana ia harus segera di rawat.”

“Bagaimana mungkin kankernya makin parah? Ia selalu minum obat yang di anjurkan dan pola makannya juga sama seperti yang di anjurkan untuk penderita kanker lambung.” Shige masih tidak percaya.

“Kato-san, anda harus ingat. Istri anda terkena kanker, kanker itu sangat ganas.”

“Tapi ini terlalu singkat dokter, padahal istri saya sudah menuruti semua yang di anjurkan saat itu.” Air mata Shige mulai membasahi wajahnya.

“Saya harap anda bisa mengerti dan bisa segera merawat istri anda dengan segera, kami akan usahakan semampunya untuk melenyapkan kanker itu.”

Shige keluar dari ruangan dokter tersebut, langkahnya gontai. Ia merasa bahwa kiamat akan menghampiri dirinya. Ia berjalan menuju ruangan perawatan istrinya.

Sesampainya, ia melihat istrinya tertidur dengan pulas. Shige menghampirinya dan duduk disampingnya. Ia menangis lagi, perasaan akan kehilangan istrinya selamanya menghantui bayang-bayangnya. Ia takut.

***

Sebulan sudah berlalu sejak kejadian tersebut, Shige mengunjungi istrinya yang masih dirawat di rumah sakit, “Konnichiwa, Chiisa-chan,” sapa Shige sambil mencium kening istrinya.

“Konnichiwa, hari ini tidak kerja? Tumben sekali datang sesiang ini?”

“Hari ini aku libur, aku ingin menemanimu seharian disini. Bagaimana kabarmu?”

“Aku bosan sekali disini, memangnya ada apa denganku? Kenapa aku harus dirawat?”  tanya Chiisa penasaran.

“Ne, Chiisa kau kan sering mersakan sakit perut. Aku tidak mau kau sakit lagi, jadi aku membawamu kesini agar sakit perut itu hilang selamanya.

“Memang sakit perut apa itu?”

“Maag.” jawab Shige, tentu saja ia bohong. Ia tidak ingin melihat istrinya sedih.

“Dari dulu aku memang maag, tapi sakitnya tidak sesakit sekarang. Aku rasa ini bukan maag. Kau tau kan apa penyakit yang aku derita?”

“Chiisa-chan..” lirih Shige.

“Beritahu aku, Shige. Aku ingin tau penyakitku sendiri.” ekspresi wajah Chiisa sangat serius.

“Kanker lambung..” ucap Shige dengan sangat pelan.

“Kanker? Kau bohong kan? Dokter itu juga pasti salah diagnosa! Itu pasti bohong, aku tidak mungkin terkena kanker, aku selalu menjaga makananku. Itu pasti bohongkan?” benar dugaan Shige, istrinya sangat kaget dan tidak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.

“Itu benar, sayang. Gomen, aku baru memberitahumu sekarang. Aku tidak ingin melihatmu sedih.” Shige memeluk istrinya.

“Aku mohon, jangan pernah putus asa. Kau masih bisa sembuh. Untuk itu, aku mohon kau harus semangat hidup.” ujar Shige lirih.

“Jika kau sembuh, kita akan memiliki anak lagi. Kita akan menjadi keluarga yang bahagia.” ujar Shige.

“Kenapa kau pilih aku yang seperti ini, Shige? Aku benar-benar tak layak untukmu!”

“Aku mencintaimu sejak dulu, bukankah sudah aku bilang aku menerimamu apa adanya? Tolong balas cintaku dengan semangat hidupmu. Onegai, Chiisa. aku tidak mau kehilanganmu.” tangis Shige pecah.

***

Chiisa melamun di kamar perawatannya, ia sedang membayangkan masa depan yang indah bersama suaminya. Tiba-tiba, keitainy berdering, ada panggilan masuk dari suaminya. “Moshi-moshi, Shige. Nande?”

“Bersiap-siaplah sekarang, sepulang kerja nanti aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Aku juga sudah izin kepada dokter yang merawatmu dan dokter mengizinkannya.”

“Hai, aku akan berdandan sangat cantik.”

“Ok, sekarang aku sedang dalam perjalanan. Tunggu aku ya.”

“Sudah pasti aku akan menunggumu, kau ini kenapa sih?”

“Aku takut kau meninggalkanku ketika aku tiba, oh iya kalau aku sudah tiba, jangan menangis ya.”

“Iya, Shige-kun. Memangnya aku ini anak kecil yang nangis terus.”

“Hahaha, sudah ya aku tutup teleponnya. Sayonara.”

“Eh~ kenapa sayonara?”

Tut tut tut, teleponnya sudah di matikan. Ada yang aneh kali ini dengan Shige, pikir Chiisa.

***

3 jam berlalu sejak Shige menelpon Chiisa tadi. Chiisa sudah berdandan cantik tapi Shige belum tiba. Chiisa mulai khawatir dan mencoba menghubungi Shige, tapi panggilannya tidak di angkat-angkat.

***
4 jam sudah berlalu, Chiisa masih menunggu Shige dan Shige belum tampak sampai sekarang. Seorang suster datang pada Chiisa, wajahnya terlihat sangat sedih.

“Ano, Chiisa-san..” katanya gugup.

“Kato-san, un...” ia masih gugup.

“Tolong katakan ada apa? Tolong katakan dengan jelas!” perintah Chiisa.

“Kato-san kecelakaan, ia meninggal di tempat. Mayatnya ada di kamar mayat.”

Berita duka yang di sampaikan suster tersebut benar-benar membuat pertahanan Chiisa runtuh. Tangisnya pecah seketika, ia pun berlari menuju kamar mayat tak peduli suster yang merawatnya memperingatinya untuk tidak berlari.

Ia melihat jasad suaminya yang sudah tak bernyawa, tubuhnya bersimbah darah dan tangannya, tangan Shige menggenngam sebuah mawar yang di sampingnya berisi tulisan ‘tetap semangat hidup, istriku’. Chiisa memeluk jasad suaminya, tak peduli jika bajunya kotor ataupun mayat suaminya yang sudah mulai tercium bau-bau yang tidak sedap. Ia sangat sedih, seseorang yang hanya ia miliki kini harus meninggal dalam kondisi yang mengenaskan.

“Shige, ayo bangun. Ini bohong kan? Kau tidak mati kan? Lihat aku! Aku sudah berdandan cantik dan menunggumu! Ayo bangun, Shige-kun. Ayo bangun.” kenyataan yang lebih buruk dari apapun yang di alami Chiisa.

***

Upacara pemakaman Shige berlangsung, walaupun kondisi Chiisa yang sangat tidak memungkinkan ia tetap memaksa keluar dari rumah sakit untuk bisa menghadari upacara pemakaman suaminya tercinta. Ia duduk menangi di depan foto suaminya, tak peduli seberapa banyak orang yang hadir dan menyapanya saat itu. Ia benar-benar hancur. Ia menggenggam setangkai mawar yang di genggam suaminya saat itu. Ia terus menangis sambil mengatakan dengan lirih, “Sayang, tunggu aku disana.”

***

Seminggu setelah kematian suaminya, kondisi Chiisa semakin memprihatinkan. Badannya semakin kurus, matanya cekung, dan air matanya sering kali membasahi pipinya. Belum lagi kanker lambungnya yang kini sudah memasuki stadium akhir.

“Chiisa-san, ini makan siang dan obatnya. Tolong di makan, Chiisa-san. Kondisimu semakin memburuk sekarang.” kata seorang suster yang merawat Chiisa.

“Suster, obatnya di bawa kembali saja. Aku ingin cepat-cepat menyusul suamiku. Dia pasti kesepian disana.” ujar Chiisa dengan pandangan kosong.

“Kau tidak boleh begitu, Chiisa-san. Apa kau tidak ingat dengan permintaan suamimu untuk terus semangat hidup.” suster tersebut mencoba mengembalikan semangat Chiisa.

“Shige sudah bohong padaku, katanya ia tidak akan meninggalkanku. Tapi nyatanya, ia meninggalkanku sekarang. Jadi, apakah aku tidak boleh tidak memenuhi permintaannya untuk tidak semangat hidup?”

Suster tersebut kehabisan kata-kata, “Aku harap kau bisa memenuhi permintaan terakhir suamimu, buat ia bahagia disana.” Suster tersebut meninggalkan Chiisa yang masih menangis.

30 menit setelah itu, suster tersebut kembali. Ia terkejut apa yang di lihatnya, makan siang dan obat Chiisa sudah habis dimakan, “Wakatta, Chiisa-san.”

“Suster, apa aku bisa sembuh? Sakitku makin parah dari sebelum-belumnya.” kata Chiisa lirih, sepertinya semangatnya untuk hidup sudah kembali lagi.

“Jika anda berusaha pasti bisa.” suster tersebut tersenyum.

***

Malamnya, kamar Chiisa di penuhi dengan suara mesin detak jantung yang menandakan bahwa detak jantung yang di pasang oleh mesin tersebut telah berhenti. Dokter-dokter dan suster-suster datang berbondong-bondong membawa peralatan secanggih mungkin agar nyawa Chiisa bisa selamat.

Tapi, takdir berkata lain. Di hari itu, tepat seminggu setelah kematian suaminya, Chiisa meninggal. Jasadnya tersenyum, ia pasti bahagia disana karena bertemu suaminya tercinta.

THE END

fufufu, akhirnya fanficnya kelar juga sambil nunggu sahur. comments are chuu :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar